Minggu, 08 Maret 2009

Eksotisme Tenun Ikat Sumba

Walaupun penduduk Sumba banyak mengandalkan penghasilannya dari bertani atau beternak, namun tenun adalah mata pencaharian utama lainnya. Tenun Ikat Sumba memang sudah menyatu dengan keseharian masyarakat Sumba. Umumnya para wanita mengerjakannya dan merupakan pekerjaan rumahan, yang dilakukan sambil mengobrol atau mengasuh anak.

Kerajinan kain tenun ikat ini telah terkenal sejak ratusan tahun. Nah, ternyata ada dua kelompok pengrajin. Yang pertama adalah yang menggantungkan seluruh penghasilannya pada pekerjaannya dan yang kedua melakukannya hanya sebagai kerjaan sambilan. Seniman sambilan ini umumnya adalah mereka yang secara sosial masih memiliki fungsi adat seperti kaum bangsawan (maramba). Walaupun merupakan hasil sambilan, tenun jenis ini bermutu tinggi karena sebenarnya tenunan tersebut bukanlah barang dagangan, hanya sebagai koleksi atau digunakan dalam upacara adat.

Beberapa daerah di Sumba Timur yang terkenal dengan kain tenunnya adalah desa Kaliuda, Kecamatan Pahungalodu, desa Rindi dan Watuhadang, kecamatan Rindiumalulu, desa Rambangaru di kecamatan Pandawai, dan Kelurahan Prailulu. Tenunan dari daerah ini bermutu tinggi karena dibuat dengan menggunakan ramuan tradisional dan membutuhkan waktu yang lama untuk menyelesaikannya. Selain itu tidak jarang ada tenunan yang menghabiskan bertahun-tahun untuk menyelesaikannya, sehingga tidak heran bila harga jualnya bisa mencapai jutaan rupiah, terutama yang berasal dari Rindi, Kaliuda, dan Kampung Pau.

Tenun ikat asal Kampung Rindi, di Kabupaten Sumba Timur, merupakan salah satu tenunan Sumba yang terkenal. Dengan penggunaan bahan-bahan alami yang berasal dari tetumbuhan, tenun ikat rindi memiliki kelabihan dalam hal motif, warna, dan bahan dasarnya. Semua itu diperoleh melalui sebuah proses yang rumit dan memakan waktu cukup lama.

Untuk proses pewarnaan saja bisa memakan waktu berbulan-bulan, bahkan tahunan. Selain berkaitan dengan kebiasaan turun temurun, ini juga disesuaikan dengan tumbuhnya beberapa tamanan sebagai bahan pewarna, pada musim-musim tertentu. Seperti pada musim penghujan, para penenun mengikat benang, membentuk motif yang diinginkan sekaligus menyiapkan bahan warna.

Misalnya warna merah dihasilkan dari akar mengkudu yang dicampur daun loba. Biasanya proses pencelupan warna dimulai pada musim kemarau. Karena bergantung pada bahan-bahan alami, pilihan warnanyapun terbatas. Warna biru, merah hitam dan kuning, merupakan warna yang biasa digunakan. Proses pewarnaannya relatif rumit dan memerlukan kesabaran. Paling tidak diperlukan empat kali pemrosesan untuk mendapat satu warna yang diinginkan, itupun masih harus diolah lagi dan dijemur satu bulan untuk warna lain. Setelah pewarnaan selesai, ikatan dibuka, benang diuraikan, barulah kemudian ditenun.

Dengan berbagai tahapan tersebut, pembuatannya bisa memakan waktu berbulan-bulan, bahkan tahunan. Harganyapun bisa mencapai jutaan rupiah, jauh lebih tinggi dari kain tenun yang menggunakan pewarna tekstil biasa.

Motif tenun ikat dari Sumba Timur memiliki ciri yang amat khas dan jauh berbeda dari Sumba Barat. Bila pola motif Sumba Barat bergaris-garis, bunga dan lainnya yang terkesan lebih sederhana, maka tenun ikat Sumba Timur lebih dinamis dengan motif-motif berbentuk naga, singa, burung atau pohon andung. Kain Sumba Timur memang terkenal dengan keaneka ragaman motif ikatnya, sedangkan kain Sumba Barat kebanyakan hanya bermotif salur dengan sedikit variasi ikat, dan warnanyapun gelap.

Sejalan dengan berkembangnya Sumba sebagai daerah tujuan wisata, tenun ikatnyapun menjadi satu komoditi yang menguntungkan. Sebagai cinderamata khas Sumba, para turis dari manca negara-pun tak segan-segan membelanjakan uangnya untuk membeli sehelai kain yang harganya relatif mahal ini.

Keunikan Motif Tenun Ikat Sumba

tenun-ikat-sumba.jpgtenun-ikat sumba 3tenun-ikat-sumba 2

Memahami proses pembuatan tenun ikat Sumba. Proses yang semula sarat dengan muatan religiusitas Marapu, tidak bisa dilepaskan dari peran para aktor kelas menengah komunitas suku bangsa Sumba. Dinamika pembuatan tenun ikat Sumba yang menggunakan teknik lusi, jika semula lebih sebagai aktifitas kultural yang berorientasi seni, terbatas, sarat dengan nilai-nilai religi Marapu kini harus berhadapan dengan arena modernitas bahkan era post modern.

Sosok orientasi penggunaan tenun ikat Sumba kini sudah mulai mengalami perluasan artikulasi yang bukan terbatas tetapi semakin meluas. Resiko perluasan pemaknaan ini dapat ditarik dengan berbagai orientasi, misalnya: untuk kepentingan komodifikasi yang sifatnya massal, digunakan untuk kepentingan kultural keseharian. Pemaknaan ini juga berarti bahwa jika semula tenun ikat Sumbahanya berlaku bagi kalangan elite, kini komunitas umum bisa mengakses kain tenun ikat ini. Tenun ikat Sumba telah lolos dari perangkap sejarah masa lalu dan kini telah mampu mendialogkan dengan realitas plural religiusitas bahkan ke wilayah profan.

Kajian Tenun Ikat Sumba Timur merupakan salah satu karya seni, yang pada era ini mengalami terpaan “badai globalisasi”, yang kalau tidak dipertahakankan dengan sungguh-sungguh akan punah. Usaha untuk melestarikan karya seni ini nampaknya terkait dengan aspek sosial pembangunan dari karya seni tersebut.

Selamatkan tarian Sumba