Minggu, 28 Juni 2009

SUMBA

Pulau Sumba adalah sebuah pulau di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Luas wilayahnya 10.710 km², dan titik tertingginya Gunung Wanggameti (1.225 m). Sumba berbatasan dengan Sumbawa di sebelah barat laut, Flores di timur laut, Timor di timur, dan Australia di selatan dan tenggara. Selat Sumba terletak di utara pulau ini. Di bagian timur terletak Laut Sawu serta Samudra Hindia terletak di sebelah selatan dan barat.

Secara administratif, pulau ini termasuk wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pulau ini sendiri terdiri dari empat kabupaten: Kabupaten Sumba Barat, Kabupaten Sumba Barat Daya, Kabupaten Sumba Tengah, dan Kabupaten Sumba Timur. Kota terbesarnya adalah Waingapu, ibukota Kabupaten Sumba Timur. Kota tersebut juga terdapat bandar udara dan pelabuhan laut yang menghubungkan Pulau Sumba dengan pulau-pulau lainnya di Indonesia seperti Pulau Sumbawa, Pulau Flores, dan Pulau Timor.

Sebelum dikunjungi bangsa Eropa pada 1522, Sumba dikuasai oleh Kerajaan Majapahit. Sejak 1866, pulau ini dikuasai oleh Hindia-Belanda dan selanjutnya menjadi bagian dari Indonesia.

Masyarakat Sumba secara rasial merupakan campuran dari ras Mongoloid dan Melanesoid. Sebagian besar penduduknya menganut kepercayaan animisme Marapu dan agama Kristen. Kaum muslim dalam jumlah kecil dapat ditemukan di sepanjang kawasan pesisir.

1. Kabupaten Sumba Barat

Kabupaten Sumba Barat adalah sebuah kabupaten yang terletak di provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Ibu kotanya berada di Waikabubak. Luas daratannya 4.051,9 kilometer persegi.

kabupaten ini berupa rangkaian pegunungan dan bukit-bukit kapur yang curam. Iklimnya tropis dengan musim hujan relatif pendek dibandingkan kemarau. Curah hujan rata-rata cukup tinggi, terutama pada November hingga Maret.

Penduduknya berjumlah sekitar ±300.000 jiwa. Sekitar setengah penduduk kabupaten ini masih memeluk agama tradisional marapu. Penduduk yang lain adalah pemeluk Protestan, Katolik, Islam, Hindu dan sisanya adalah Budha. Kenyataan ini diakibatkan karena masih kuatnya pengaruh daripada adat istiadat mereka, terutama di kecamatan Kodi, Waijewa Barat dan Waijewa Timur yang hampir setengah penduduknya adalah pemeluk marapu. Selain itu, di kabupaten ini masih terdapat masyarakat terasing, yaitu suku bangsa Gaura di desa Gaura, kecamatan Walakaka, suku bangsa Balikeda di desa Dokakaka, kecamatan Loli dan suku bangsa Lenang di desa Lenang, kecamatan Katikutana.
Perekonomian Sebagian besar penduduk di kabupaten ini bergantung hidup pada sektor pertanian. Karena keadaan tanahnya, tanaman cokelat dan tembakau dapat tumbuh di areal seluas 110 hektar dan 2.280 hektar.

Sektor peternakan juga merupakan nafkah tambahan utama penduduk setempat. Kerbau banyak digunakan dalam pelaksanaan upacara adat, terdapat di kecamatan Kodi, Walakaka dan Katikutana. Selain itu, kerbau juga diguankan untuk menggarap tanah pertanian secara tradisional (renca).

Pariwisata Di daerah ini masih bisa ditemukan daerah-daerah yang memiliki nilai historis, baik dari segi sejarah maupun sosial budayanya. Kampung Kadung Tana, Watu Karagata dan Bulu Peka Mila merupakan daerah yang terdapat makam-makam megalitik. Juga di desa Tarung yang berjarak setengah kilometer dari kota Waikabubak, terdapat makam megalitik yang bercirikan tanduk kerbau dan taring-taring babi yang pada masa lalu merupakan hewan sakral.

Di kampung Matakaheri, desa Anakalang, terdapat makam Raja Anakalang seberat 70 ton. Konon, makam itu dikerjakan oleh 2.000 orang selama tiga tahun. Di kampung Lai Tarung yang terletak di atas gunung, terletak makam nenek moyang 12 klen. Di kecamatan Walakaka sering dilaksanakan acara perang tanding di atas kuda, atau pasola pada bulan Maret. Pasola adalah keterampilan menunggang kuda sambil melemparkan tombak kayu berujung tumpul yang di arahkan ke tubuh lawan. Sebelum upacara tersebut berlangsung, diadakan terlebih dahulu acara nyale, yaitu mencari sejenis cacing yang terdapat di antara batu-batu di tepi pantai. Anehnya, cacing-cacing tersebut hanya ada pada saat menjelang subuh kala purnama mulai muncul di bulan Maret. Cacing-cacing berprotein tinggi itu ditangkap untuk kemudian dimakan. Di daerah lain seperti Kodi dan Lamboya (termasuk kecamatan Walakaka) upacara pasola dan nyale biasanya diadakan pada bulan Februari. Dibagian selatan Sumba Barat, ada Pantai Rua yang berpasir putih. lokasi pantai berjarak sekitar 76 KM dari Waikabubak.

2. Kabupaten Sumba Timur
Wilayah
Kabupaten ini menempati bagian timur Pulau Sumba. Sebelah utara berbatasan dengan Selat Sumba, sebelah timur dengan Laut Sabu, sebelah selatan dengan Samudra Hindia, dan sebelah barat dengan Kabupaten Sumba Barat. Selain itu, kabupaten Sumba Timur juga meliputi empat pulau kecil di selatan, yakni Pulau Salura, Pulau Mengkudu, Pulau Kotak, dan Pulau Nusa.

Kondisi topografi Sumba Timur secara umum datar (di daerah pesisir), landai sampai bergelombang (wilayah dataran rendah <100>

Demografi
Jumlah Penduduk Kabupaten Sumba Timur (2002) adalah 190.214 jiwa, atau dengan kepadatan rata-rata 27 jiwa/km². Kepadatan tertinggi di Kecamatan Waingapu, yaitu 1.049 jiwa/km², sedang kepadatan terendah ada di Kecamatan Haharu, yaitu 13 jiwa/km². Disamping orang Sumba Timur asli, juga terdapat orang Sabu, keturunan Tionghoa, Arab, Bugis, Jawa dan penduduk yang berasal dari daerah Nusa Tenggara Timur lainnya. Bahasa daerah yang digunakan adalah Bahasa Sumba Kambera. Sebagian besar penduduk di kabupaten ini beragama Protestan. Selebihnya adalah Islam, Hindu dan Budha. Sekitar 39 persen lagi adalah beragama tradisional Marapu. Meskipun keadaan tanahnya kurang subur, lebih dari separuh penduduk kabupaten Sumba Timur ini adalah petani. Selain itu ada juga yang bekerja sebagai peternak, pegawai, buruh, nelayan dan lain-lain. Walaupun sektor pertanian menempati tempat pertama dalam pendapatan regional, luas sawah yang bisa digarap baru 11 persen dari luas tanah kabupaten seluruhnya. Penggarapan sawah ini dilakukan dengan cara tradisional yang disebut renca, yaitu pengerahan tenaga manusia dan kerbau dalam jumlah besar diatas tanah sawah yang akan ditanami. Kaki-kaki kerbau yang berjumlah puluhan ini digunakan sebagai pengganti bajak, dan pekerjaan renca ini diawali dan diakhiri dengan upacara keagamaan (ritus). Kehidupan sehari-hari penduduknya pada dasarnya merupakan cerminan kehidupan agama tradisional mereka. Hal ini bisa dilihat saat mereka melaksanakan berbagai upacara adat berkenaan dengan daur hidup seperti upacara kelahiran (habola), perkawinan (lalei atau mangoma) dan kematian (pa taningu).

Rangkaian pegunungan dan bukit-bukit kapur curam yang menguasai wilayah bagian tengah dengan empat puncak: Mawunu, Kombapari, Watupatawang, dan Wanggameti. Dataran rendah terdapat di sepanjang pesisir dengan bagian yang cukup luas di Tanjung Undu (pesisir paling barat). Kabupaten ini beriklim tropis dengan musim hujan yang relatif pendek dan musim kemarau yang panjang (delapan bulan). Suhu rata-rata adalah 22,5 derajat sampai 31,7 derajat Celsius. Musim hujan biasanya terjadi di bulan Desember sampai Maret untuk daerah pesisir dan November sampai April di daerah pedalaman. Jumlah curah hujan dalam setahun 1.860 milimeter, sehingga daerah ini termasuk daerah beriklim kering.

Amplitudo suhu yang tinggi mengakibatkan batu-batuan menjadi lapuk, tanah merekah dan terjadi seleksi alam terhadap tumbuhan dan hewan yang dapat hidup dalam kondisi demikian. Karena itu, jenis tumbuhan yang ada umumnya berupa tanaman keras seperti jati, kelapa, dan aren; sementara hewan peliharaan umumnya adalah sapi, kerbau, dan kuda yang telah menyesuaikan diri dengan keadaan alam Sumba yang berpadang sabana luas.

Keadaan tanah di Sumba Timur mengandung pasir, kapur, dan batu karang karena ratusan ribu tahun yang lalu daerah ini berada di bawah permukaan laut. Setelah zaman es berlalu, daratan ini muncul di atas permukaan laut, sehingga sering dijumpai berbagai jenis hewan laut seperti kerang, ikan dan tanaman laut yang telah menjadi fosil di bukit-bukit karang. Rumput-rumput pun tumbuh di atas batu-batu karang.

Perekonomian

Perekonomian penduduk Sumba Timur ini sebagian besar adalah pertanian (termasuk peternakan), industri rumah tangga (terutama kerajinan tekstil/tenun), serta pariwisata.

Kerajinan

Industri rumah tangga di Sumba Timur didominasi kerajinan kain tenun ikat yang terdapat di hampir seluruh penjuru kabupaten. Kerajinan kain tenun ikat ini sudah terkenal sejak ratusan tahun. Ada dua kelompok pengrajin, yaitu yang menggantungkan seluruh penghasilannya pada pekerjaannya dan yang melakukannya hanya sebagai kerjaan sambilan. Seniman sambilan ini umumnya adalah mereka yang secara sosial masih memiliki fungsi adat seperti kaum bangsawan (maramba). Walaupun merupakan hasil sambilan, tenun jenis ini bermutu tinggi karena sebenarnya tenunan tersebut bukanlah barang dagangan, hanya sebagai koleksi atau digunakan dalam upacara adat. Ada beberapa daerah yang terkenal dengan kain tenunnya, seperti Desa Kaliuda yang terletak di Kecamatan Pahungalodu, Rindi dan Watuhadang yang terletak di kecamatan Rindiumalulu, Rambangaru yang terletak di kecamatan Pandawai, dan Kelurahan Prailulu. Tenunan dari daerah ini bermutu tinggi karena dibuat dengan menggunakan ramuan tradisional dan membutuhkan waktu yang lama untuk menyelesaikannya. Tidak jarang ada tenunan yang lama penyelesaiannya hingga tahunan, yang menyebabkan harga jualnya pun mencapai jutaan rupiah, terutama yang berasal dari Rindi, Kaliuda, dan Kampung Pau. Kerajinan tenun ini juga mendukung kegiatan pariwisata di kabupaten ini.

Pertanian tanaman

Pada sektor pertanian tanaman, padi, jagung, dan ubi kayu menjadi andalan. Hasil pertanian lainnya adalah cengkeh, kapuk, kemiri, kelapa, ubi jalar, kacang tanah, kacang hijau, sorgum, dan jambu mete. Hasil pertanian tersebut telah dikembangkan sejak tahun 1977.
Peternakan

Sektor peternakan memiliki sejarah panjang dan cukup berbeda dari daerah lain di Indonesia, oleh sebab keadaan alam wilayah ini yang memiliki musim penghujan pendek dan padang rumput (sabana) luas.

Sumba Timur terkenal sebagai pusat penangkaran dan perdagangan kuda sejak abad ke-19. Kuda sandel, yang merupakan hasil perbaikan (grading up) kuda lokal dengan kuda Arab, telah menjadi maskot daerah dan figurnya dimasukkan dalam lambang daerah.

Pada awal abad ke-20 (1906-1907) pemerintah Hindia Belanda memasukkan empat ras sapi ke Sumba, sapi jawa, sapi madura, sapi bali, dan sapi ongole dari India. Hanya yang terakhir yang diketahui bisa beradaptasi dengan baik dan segera menjadi komoditi peternakan unggulan, menggeser kuda.[1] Tujuh tahun sejak introduksi, pemerintah menetapkan Sumba sebagai pusat penangkaran sapi ongole murni dan sejak itu biakannya dikenal sebagai ras SO (Sumba Ongole), dan ini berlangsung hingga sekarang.

Pariwisata

Pantai Kalala, Tarimbang, Purukaberta, dan Walakiri sudah mendunia dan dikenal sebagai tempat berselancar yang indah. Sisa-sisa kebudayaan megalitik berupa kubur batu dan rumah-rumah adat asli yang sering menjadi tempat pelaksanaan upacara adat penguburan jenazah bangsawan menarik minat para wisatawan. Wisata alam dapat dilakukan di Taman Nasional Laiwangi Wanggameti. Sebenarnya ada tempat yang juga dapat dijadikan pariwisata yaitu londa lima dan pulo kambera, tapi kurangnya pengembangan pemda setempat mengurangi keindahan tempat tersebut.ini terbukti ramainya dua tempat tersebut pada waktu libur nasional maupun libur agama .

3. Sumba Barat Daya

Kabupaten Sumba Barat Daya adalah kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia, sebagai pemekaran dari Kabupaten Sumba Barat, dan dibentuk berdasarkan UU no. 16 tahun 2007. Peresmian dilakukan oleh Penjabat Mendagri Widodo A.S. pada tanggal 22 Mei 2007.
DPR telah menyetujui Rancangan Undang-Undangnya pada 8 Desember 2006. Kabupaten Sumba Barat Daya adalah 1 dari 16 Kabupaten/Kota baru yang dimekarkan pada 2006. Ke-16 Kabupaten/Kota baru tersebut adalah Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Gorontalo Utara, Kabupaten Bolaang Mongondow Utara, Kabupaten Minahasa Tenggara, Kota Subulussalam, Kabupaten Pidie Jaya, Kabupaten Kayong Utara, Kabupaten Sumba Barat Daya, Kabupaten Konawe Utara, Kabupaten Buton Utara, Kabupaten Kepulauan Sitaro, Kabupaten Empat Lawang, Kabupaten Batubara, Kabupaten Nagekeo, Kabupaten Sumba Tengah dan Kota Kotamobagu.

Daftar Kecamatan

1. Kodi
2. Kodi Bangedo
3. Kodi Utara
4. Laura
5. Wewewa Barat
6. Wewewa Selatan
7. Wewewa Timur
8. Wewewa Utara

4. Kabupaten Sumba Tengah

Kabupaten Sumba Tengah adalah sebuah kabupaten di provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia yang dibentuk berdasarkan UU no. 3 tahun 2007. Kabupaten ini adalah pemekaran dari Kabupaten Sumba Barat.

Daftar Kecamatan

1. Katikutana
2. Mamboro
3. Umbu Ratu Nggay
4. Umbu Ratu Nggay Barat
=============================================

Sumba is an island in Indonesia, and is one of the Lesser Sunda Islands. It has an area of 11,153 km², and the population was officially at 611,422 in 2005. There is a dry season from May to November and a rainy season from December to April. Historically, this island exported sandalwood.

To the northwest of Sumba is Sumbawa, to the northeast, across the Sumba Strait (Selat Sumba), is Flores, to the east, across the Savu Sea, is Timor, and to the south, across part of the Indian Ocean, is Australia. It is in the province of East Nusa Tenggara. The largest town on the island is Waingapu, with a population of about 10,700.

Before colonization, Sumba was inhabited by several small ethnolinguistic groups, some of which may have had tributary relations to the Majapahit Empire. In 1522 the first ships from Europe arrived, and by 1866 Sumba belonged to the Dutch East Indies, although the island did not come under real Dutch administration until the twentieth century.

The Sumbanese people speak a variety of closely related Austronesian languages, and have a mixture of Malay and Melanesian ancestry. Twenty-five to thirty percent of the population practises the animist Marapu religion. The remainder are Christian, a majority being Dutch Calvinist, but a substantial minority being Roman Catholic. A small number of Sunni Muslims can be found along the coastal areas.

Despite the influx of western religions, Sumba is one of the few places in the world in which megalithic burials, are used as a ‘living tradition’ to inter prominent individuals when they die. Burial in megaliths is a practice that was used in many parts of the world during the Neolithic and Bronze Ages, but has survived to this day in Sumba.

http://sumbaisland.com/wp-content/uploads/2008/04/sumbamap1.jpg

http://sumbaisland.com/wp-content/uploads/2008/04/sumbamap4.jpg